Cinta di ufuk senja
“Hay” lamunanku terhentak oleh nya,
kulihat dalam kedua matanya. Kutemukan kedamaian saat bersamamanya. “Dia lah
sosok yang kucari selama ini, aku tidak mungkin salah” ungkap ku dalam hati.
“Sayang...” ujarnya sambil memelukku.
Tubuh ini masih bergetar terhenyak oleh tangisan ku yang mulai memudar.
“Ceritalah padaku, apa yang kau pikirkan?” kulepas pelukan tubuhnya dariku,
kududuk menjauh sambil melihat jauh keujung langit senja di ufuk pantai.
Terpaan angin pantai seolah melambaikan berbagai untaian cinta dua insan yang
tak tahu melangkah masa depan.
“Ardi.. Aku tak tau apakah sungguh
benar cinta kita ini?”. Kulihat sosok pria yang telah menemani hari-hariku
selama 3 tahun ini, sosok yang kucinta tapi tetap tak kutemui ujung dari
hubungan ini. Ardi mendekatiku dan duduk di sisiku. “Masihkah kau meragukan
cinta kita? Setelah yang kita lalui selama ini?”. Lagi-lagi pikiran ini tak
menentu saat kata-kata itu terucap lagi dari mulutnya, hanya jawaban itu yang
selalu dia ucapkan. Terkadang membuat ku ragu akan semua itu, bukankah cinta
itu bukan hanya diikrarkan melalui ucapan tetapi melainkan pembuktian dengan
perbuatan.
Aku hanya diam membisu.
Hingga kusadari saat telapak tangan
Ardi mengusap pipiku dari air mata yang bercucuran. “Maafkan aku Rani, tak
berniat di hatiku sedikit pun ucapan ku menyakitimu.” Ujarnya. Aku hanya diam
membisu, kuhela napas panjang menghirup udara cinta ini.
“Aku ingin mangatakan sesuatu hal
padamu”, kutatap matanya berharap dia mengerti dengan semua ini. “Kamu tau kan
apa yang membuat hubungan kita tak berujung pada hal yang pasti, hubungan ini
seakan tak berarti tanpa tujuan. Aku ingin hidup bersamamu Ardi... Tetapi
orangtuaku jelas-jelas menentang hubungan kita sejak awal. Jauh sebelum
hubungan ini semakin erat. Aku bingung Ardi, aku tak sanggup menanggung beban
pikiran dan hati ini Ardi.. Kumohon serius lah Ardi, bantu aku menemukan arah
hubungan ini...” ungkap ku penuh isak air mata.
Ardi hanya diam membisu menatap kosong
pada kedua bola mataku, hingga aku dapat melihat diriku di kedua bola matanya.
Ardi mengusap kedua pipiku dengan lembut, sambil berkata “Dengarkan aku sayang,
sesungguhnya aku merasakan hal yang sama denganmu. Aku hanya tak ingin membuat
hari-hari yang kita lalui hanya dengan beban, tetapi percayalah tak sedikitpun
aku melupakan permasalahan hubungan kita. Hanya satu hal yang ingin kau tau.
Dalam hal keyakinan kita memang berbeda, tapi apakah dalam cinta kita tidak
bisa dipersatukan?”
Aku semakin bingung dengan jawaban
darinya yang masih belum jelas tujuannya. Ku berdiri dari sisinya, kulangkahkan
kaki menghempas tiap butir pasir yang ku jejaki. Ardi pun turut mengejar ku
berjalan seiring denganku menjejaki tiap sisi pantai dengan ombaknya yang
seakan terus menghempas menggetar hati ini. Kugenggam tangan Ardi penuh arti,
dalam hatiku berkata “Apakah tangan ini yang nantinya akan menyelipkan intan
permata di jari manisku? Apakah tangan ini yang akan menggenggam tanganku di
kursi pelaminan? Dan apakah tangan ini yang akan menimang anak-anak ku hingga
mereka tertidur lelap?”
Kami hanya diam seribu bahasa,
berjalan seirama menikmati semilir angin dan senja yang terus turun ke ufuk
barat. Langkah kaki ini seakan langkah hubungan kami yang terus berjalan dengan
datar tanpa akhir.
“Bagaimana arti Ibu bagimu?” tanyaku
menyadarkan tatapannya yang kosong. “Ibu? Ibu bagiku adalah sepenuh hatiku yang
tergantung padanya. Seakan hatiku ini tidak dapat berdetak tanpa aliran darah
dari kasih sayang nya yang tak akan kudapatkan selain darinya, mengaliri setiap
perjalanan hidupku hingga saat ini.” Ucapnya dengan senyumannya yang membuatku
mengingat kembali senyuman itu di awal masa PDKT kami.
“Apakah kau akan meninggalkan ibumu
untuk diriku?” tanyaku lagi. “Tak akan, dalam kepercayaan mu bukankah allah itu
berada di tempat paling dekat denganmu, di tiap detak jantung mu. Begitu lah
bagiku seorang ibu, meskipun aku pergi jauh aku tak akan pernah merasa
kehilangannya dirinya karena aku tak meninggalkannya dan dia tak
meninggalkanku.”
Langkah kami terhenti oleh sepasang
bocah balita yang asyik bermain pasir membuat istana yang penuh kedamaian,
penuh keceriaan, gelak tawa mereka yang polos dan suci. “Anak perempuan atau
laki-laki yang kau inginkan sebagai anak pertamamu?” tanyanya kepadaku, sembari
menggenggam kedua tanganku. “Aku ingin mendapat anak laki-laki sebagai anak
pertamaku, agar dia dapat menjadi abang yang menjaga dan melindungi keluarga
dan adik-adiknya.” Ungkapku sambil mencubit lengannya.
Aku berlari darinya sembari duduk
bermain air pantai, menikmati hempasan air yang menghempas tubuhku. Kunikmati
tiap terpaan air yang mengenai wajahku. Ardi duduk disisiku mengangkat kepalaku
agar berbaring di pahanya. Rambut ku dibelai mesra olehnya, berkali-kali dia
menatap tajam seakan mencari keputusan di kedua tatapan mataku.
“Aku mencintaimu lebih dari segalanya,
aku menjalani hubungan ini pun tentunya dengan pemikiran yang matang dan aku
telah bertekad sedari awal akan mengahadapi apapun resiko dari hubungan kita. Aku
ingin menempuh bahtera kehidupan bersamamu. Menimang dan membesarkan buah hati
kita, dan menyatukan kedua pihak keluarga kita. Meski aku tak yakin apakah itu
bisa. Aku rela melakukan apapun untuk bersamamu karena kau lah masa depanku.”
Aku hanya terdiam mengamati ucapannya. “Apapun?” tanyaku. “Ya apapun, untuk
menyatukan cinta kita.”
“Maukah kau menjadi imamku? Menjalani
hari-hari sejalan dengan keyakinan kita yang satu? Membesarkan anak-anak kita
di satu cinta dan satu petunjuk?” ucapku penuh harap. Ardi hanya terdiam dan
tersenyum mengenggam kedua tanganku “Apapun untukmu.. Besok akan kutemui kedua
orangtuamu. Kita akan membuka jalan dan tujuan yang kita cari selama ini dari
hubungan cinta kasih kita. Kan ku mohon restu dari kedua belah pihak keluarga.
Namun hanya satu yang kupinta darimu, berjanjilah untuk tetap disisiku
melangkah bersama di kehidupan dan kematian.” Kugenggam erat genggaman
tangannya dan jatuh di dekapan cinta kasih sayang nya.
Inilah yang kutunggu darimu, matahari
senja tak tampak lagi diujung mata. Tenggelam jauh bersama seribu pertanyaan ku
sedari dulu. Bintang-bintang menggantikan posisi di hamparan langit seperti
itulah kebahagiaanku yang tak dapat kuhitung seberapa bahagianya diriku. Debur
ombak tetap menghempas kedua mata kaki kami, debur ombak ini yang tetap tak
berubah, sama hal dengan janji kami di awal hubungan ini. “Melalui persoalan
apapun bersama.” Hanya semilir angin yang semakin kuat menerpa, kami yakin
semuanya tentu tak berjalan mulus dengan perkataan yang terucap sekalipun janji
yang telah terikrar. Namun tetap janji tetaplah janji tak akan terusik dan
terganti. (dian)
Komentar